Ketika Umar bin Abdul Aziz mengemban amanah sebagai khalifah, orang pertama yang diangkat menjadi gubernur adalah Samh bin Malik al Khaulani. Gubernur Samh dipercaya untuk menangani berbagai daerah wilayah kekuasaan khalifah Islam yang sebagiannya mencakup wilayah Prancis saat ini.
Gubernur Samh tergolong seorang gubernur / pemimpin yang bijak dan adil. Ketika pertama kali dilantik sebagai gubernur maka ia mencari ulama pemuka kaum muslimin dari kalangan tabi’in yang masih hidup. Hingga kemudian bertemulah ia dengan seorang tabi’in bernama Abdurrahman al Ghafiqi. Dikarenakan kesalehan, kecerdasan, dan keberanian al Ghafiqi, Gubernur Samh pun menawarinya sebuah jabatan untuk menangani wilayah Andalusia (Spanyol).
Tawaran manis itu dijawab dengan jawaban yang sopan oleh al Ghafiqi, “Wahai gubernur, Aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain. Aku datang ke daerah ini hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas daerah musuh mereka. Aku hanya meniatkan diriku untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya Allah, gubernur akan mendapatiku selalu mengikuti engkau selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan selalu mengikuti perintah, selama engkau taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya, walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah.”
Jawaban al Ghafiqi tersebut merupakan jawaban yang sangat bijak. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan para pemimpin dan politisi Indonesia baik dari kalangan Islam maupun nasionalis. Koalisi-koalisi yang dibentuk lebih mencerminkan aspek bagi-bagi kekuasaan. Koalisi tidak dibangun berdasarkan semangat ketaatan pada perintah Allah dan Rasul-Nya dan bukan kepada kebenaran. Jadi, ketika ada peserta koalisi yang berusaha menegakkan kebenaran justru disingkirkan karena dianggap berkhianat. Semangat inilah yang tidak diusung oleh al Ghafiqi. “Selama pemimpin menegakkan kebenaran, maka al Ghafiqi akan selalu taat, namun ketika pemimpin menginjak-injak perintah Allah dan Rasul-Nya serta kebenaran, maka pedang telah ia siapkan untuk meluruskannya kembali.” Sebuah koalisi yang dibangun berdasar kebenaran, bukan kekuasaan.
Pada suatu ketika, dalam sebuah pertempuran tentara Islam melawan tentara Prancis, Gubernur Samh syahid tertusuk panah musuh. Abdurrahman al Ghafiqi-lah yang kemudian secara reflek memimpin bala tentara Islam yang mulai kehiangan arah. Dengan sigap di bawah kepemimpinannya, kaum Mujahidin (tentara Islam) terhindar dari kekalahan yang lebih parah.
Sejak saat itulah, al Ghafiqi ditunjuk sebagai kepala wilayah daerah Andalusia. Mulai sejak awal ia memerintah Andalusia, al Ghafiqi segera bekerja mengembalikan keyakinan pasukannya, membangkitkan semangat kaum Mujahidin. Satu hal yang dilakukan oleh al Ghafiqi dalam membangkitkan semangat para mujahidin dan kaum muslimin secara umum adalah dengan memperbaiki dan menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Ia berprinsip bahwa kesuksesan dan kemenangan mujahidin tidak bakal terjadi jika benteng jiwa sudah rapuh.
Tindakan nyata yang menjadi keteladanan dari beliau adalah dengan menyebarkan pengumuman di seluruh wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya yang berbunyi, “Barangsiapa yang mempunyai persoalan dan merasa dizalimi oleh gubernur, hakim, atau seseorang yang lain. Ia harus melaporkannya pada gubernur, sebab kedudukan kaum muslimin dan non-muslimin sama dalam hal ikatan perjanjian.”
Selanjutnya ia mulai memeriksa laporan dan pengaduan kasus kezaliman-kezaliman yang masuk. Semuanya ia luruskan dan selesaikan dengan baik berdasar keadilan dan kebenaran. Para pejabat yang terindikasi bermasalah, korupsi, dan berakhlak buruk tanpa segan-segan ia copot dari jabatan-jabatannya.
Setiap kali mengunjungi wilayaj kekuasaan kaum muslimin, ia selalu mengajak orang untuk sholat berjamaah, menganjurkan kaum muslimin untuk memburu syahid, terus berjihad, dan menyemangati mereka tentang ridha Allah SWT. Salah satu gambaran sikap perwira dan rendah hati al Ghafiqi adalah seringnya beliau berkumpul dengan kepala pasukan dan pemuka masyarakat di setiap daerah yang ia taklukkan. Ia selalu mendengarkan dan memperhatikan perkataan orang-orang yang ada di sekitarnya, mencatat semua kritik dan mengambil manfaat dari mereka. Ia lebih banyak diam dan berbicara seperlunya.
Sebagai panglima perang dan komandan Mujahidin, beliau menghormati orang-orang kafir dzimmi yang kebanyakan keturunan Prancis. Beliau sering ngobrol-ngobrol bersama mereka tentang berbagai persoalan. Dan sering, al Ghafiqi justru memperoleh inspirasi kekuatan sekaligus titik kelemahan umat Islam dari hasil diskusi-diskusi dan obrolan-obrolan bersama para bangsawan kafir dzimmi tersebut.
Dalam mempersiapkan sebuah perang suci, beliau menghabiskan waktu selama 2 tahun untuk membangun benteng jiwa kaum muslimin dan para mujahidin. Di bawah kepemimpinannya, telah banyak daerah musuh Islam yang berhasil ia taklukkan baik dengan damai maupun dengan jalan perang. Kota Uktaniyah (Aquitane), Bordeaux, Lyon, Bourbonnais, Cannes, Thuluz (Toulouse), Arel (Orleans), dan beberapa daerah yang kini menjadi wilayah Perancis dengan cepat ia taklukkan bersama kaum mujahidin yang telah beliau siapkan jiwa dan mental serta spiritualitas mereka selama kurang lebih 2 tahun.
Sebagai seorang komandan mujahidin yang memiliki keilmuan tinggi karena dididik oleh para sahabat utama Rasulullah SAW, beliau tidak berkompromi dengan pengkhianat. Sekalipun seorang muslim bahkan pemimpin umat Islam sekalipun, jika ia berkhianat maka al Ghafiqi siap menghabisinya demi tegaknya kebenaran Islam. Seorang gubernur Tsughur bernama Utsman bin Abi Nus’ah adalah salah satu contoh pengkhianat yang akhirnya tewas oleh bala tentara al Ghafiqi dikarenakan sikap Utsman yang melindungi musuh Islam, Raja Aquitane, oleh karena Utsman merupakan menantu Raja Aquitane. Raja Aquitane memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Minin yang diperistri oleh gubernur Utsman. Akhirnya keduanya pun tewas di tangan tentara Islam.
Pada kesempatan ini, kita belajar dari al Ghafiqi bahwa seorang pengkhianat Islam meskipun yang bersangkutan seorang muslim dengan jabatan tinggi sekalipun pada saat ia berkhianat, maka ia adalah musuh Islam. Hukuman terberatnya adalah yang bersangkutan boleh dibunuh. Sementara terhadap orang-orang kafir sekalipun selama mereka menjadi ahlu dzimmah, maka menjadi kewajiban pemimpin dan umat Islam untuk menjaga harta dan darahnya. Sebuah sikap yang berdasar pada kebenaran!
Abdurrahman al Ghafiqi meninggal dunia sebagai syahid pada perangBalathu asy-Syuhada saat beliau melawan pasukan Karel Martel. Beliau syahid di medan pertempuran karena sebatang anak panah yang menancap ke tubuhnya sehingga ia terjatuh dari punggung kudanya.
Ke-saat beliau melawan pasukan Karel Martel. Beliau syahid di medan pertempuran karena sebatang anak panah yang menancap ke tubuhnya sehingga ia terjatuh dari punggung kudanya.
Ke-syahid-an Abdurrahman al Ghafiqi mengulang kembali kejadian syahidHamzah pada perang Uhud dikarenakan pasukan Islam kala itu lebih mementingkan harta rampasan di saat perang belum benar-benar usai. Umat Islam kehilangan salah seorang Mujahid nya. Tak hanya umat Islam yang kehilangan. Sebagian orang-orang kafir dzimmi Prancis dan cendekiawan Prancis pun merasa kehilangan.
Dalam sebuah ucapan, Henry de Syamboun, seorang cendekiawan Prancis berujar, “Kalau tidak karena kemenangan Karel Martel yang biadab atas orang Islam Arab di Prancis, niscaya Negara kita tidak mengalami kegelapan selama delapan abad. Negara kita tak akan mengalami nasib buruk dan tidak banyak menelan korban yang mendorong tumbuhnya rasa fanatic terhadap agama dan aliran.”
0 komentar:
Posting Komentar